Industri pengolahan konsisten memberikan kontribusi paling besar terhadap perekonomian nasional, yang tercermin pada capaian triwulan II tahun 2024 sebesar 18,52 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu sekitar 18,26 persen. Atas kontribusinya, industri pengolahan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi terbesar pada triwulan II, yaitu 0,79 persen.
“Untuk triwulan II-2024, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas mencapai 4,63 persen (y-on-y), sedikit turun dari pertumbuhan pada triwulan I-2024 yang sebesar 4,64 persen,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangannya, Senin (12/8).
Pertumbuhan industri pengolahan nonmigas didorong oleh permintaan domestik dan luar negeri. Contohnya industri makanan dan minuman yang tumbuh 5,53 persen karena didukung peningkatan permintaan domestik untuk produk makanan dan minuman seiring adanya momen Idulfitri dan Iduladha, serta panen raya padi yang mendorong dari sisi penyediaan.
Berikutnya, industri logam dasar tumbuh 18,07 persen karena didorong oleh peningkatan permintaan luar negeri, seperti produk besi dan baja serta konsumsi baja nasional. Selain itu, industri kimia, farmasi, dan obat tradisional yang tumbuh 8,01 persen sejalan dengan peningkatan permintaan domestik dan luar negeri.
“Di tengah kinerja gemilang dari sektor-sektor tersebut, industri tekstil dan pakaian jadi justru mengalami terkontraksi sebesar 0,03 persen (y-on-y). Ini diakibatkan oleh penurunan produksi tekstil seiring lonjakan produk tekstil impor yang membanjiri pasar domestik,” ungkap Agus.
Selanjutnya, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki juga ikut tumbuh melambat, yaitu sebesar 1,93 persen (y-on-y). Hal ini disebabkan oleh penurunan produksi alas kaki seiring penutupan beberapa pabrik dampak penurunan permintaan domestik dan luar negeri. Penurunan terjadi di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.
Menperin mengemukakan, selama ini sektor industri manufaktur menjadi tulang punggung atau sumber pertumbuhan bagi perekonomian nasional. Performa industri juga bergantung pada upaya pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif.
“Selain karena kondisi ekonomi global yang saat ini belum stabil, aktivitas industri di dalam negeri ikut terdampak akibat adanya regulasi yang tidak memihak kepada pelaku industri. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang serius dan benar-benar tepat sasaran,” paparnya.
Melambatnya sektor industri juga tampak pada Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2024 yang berada di poin 49,3 atau merosot jadi fase kontraksi. Padahal, selama 34 bulan berturut turut sebelumnya mampu bertahan di level ekspansi.
“Bapak Presiden Joko Widodo pada Sidang Kabinet pagi ini juga menyatakan bahwa kontraksi PMI manufaktur perlu diwaspadai karena beberapa negara di Asia juga mengalaminya dan komponen yang mengalami penurunan paling banyak adalah dari sisi output,” kata Menperin.
Dalam Sidang Kabinet yang diselenggarakan di Ibu Kota Nusantara (IKN) tersebut, Presiden menyebutkan bahwa beban impor bahan baku yang tinggi karena fluktuasi rupiah atau serangan produk-produk impor yang masuk ke dalam negara dapat berpengaruh pada melemahnya permintaan domestik. “Beliau menekankan bahwa penggunaan bahan baku lokal dan juga perlindungan terhadap industri dalam negeri, serta harus bisa mencari pasar nontradisional dan mencari potensi pasar baru sebagai tujuan ekspor produk-produk Indonesia,” Agus menyampaikan.
Selain itu, kondisi sama juga dialami pada Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Juli 2024 yang turun menjadi 52,4 dari IKI Juni 2024 sebesar 52,5. Perlambatan nilai IKI pada Juli lalu dipengaruhi oleh menurunnya nilai variabel pesanan baru dan masih terkontraksinya variabel produksi. “Ini menunjukkan kepercayaan diri atau tingkat optimisme para pelaku industri yang menurun. Salah satunya karena tidak adanya kepastian hukum yang jelas,” imbuhnya.
Menperin optimistis, kinerja industri manufaktur di tanah air masih bisa bangkit kembali kalau didukung dengan kebijakan-kebijakan yang probisnis. Kebijakan tersebut antara lain ketersediaan bahan baku untuk produksi, keberlanjutan dan peluasan harga gas industri yang kompetitif, dan ketegasan terkait substitusi impor. “Kebijakan itu bisa terlaksana dengan baik kalau koordinasi yang dijalankan juga sesuai aturan. Semua pihak juga konsisten dan transparan untuk benar-benar membela industri dalam negeri,” ujarnya.