Jakarta, NONBLOK.COM – Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin menerima audiensi dari tim penulis buku “Sang Pemersatu” yang bertujuan mendokumentasikan perjalanan hidup H. Nuddin Lubis, seorang politisi dan ulama terkemuka asal Mandailing Natal, Sumatra Utara, dengan peran-peran strategisnya dalam perkembangan politik Indonesia, khususnya dalam Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dalam silaturahmi ini, tim penulis yang terdiri atas Fadlansyah Lubis, Arif Giyanto, dan Budi Gunawan Sutomo memaparkan perkembangan riset mereka yang telah berlangsung selama hampir setahun. Mereka menggali informasi melalui wawancara langsung dan kunjungan ke lokasi-lokasi penting, termasuk di Mandailing Natal dan Sumatra Utara. Riset ini difokuskan pada sosok-sosok yang terlibat dalam Partai NU dan PPP, di mana H. Nuddin Lubis berkecimpung di dalamnya hingga menjadi Anggota dan Wakil Ketua DPR/MPR selama bertahun-tahun.
“Narasumbernya pelan-pelan kita cari, kemudian kita gali. Jadi, cerita almarhum mulai dari kecil, kemudian aktivitas beliau di Mandailing Natal sendiri sampai di Sumatra Utara, terus masuk ke Jakarta ini,” papar Fadlansyah yang merupakan putra bungsu H. Nuddin Lubis yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Kabinet.
Tim penulis meyakini, sosok Wapres K.H. Ma’ruf Amin dapat dijadikan narasumber potensial mengingat kiprah panjangnya di NU. Adapun wawancara dapat dilaksanakan setelah 20 Oktober mendatang, dengan menyesuaikan waktu luang yang ada.
“Insyaallah setelah tanggal 20 ini, mudah-mudahan Pak Wapres berkenan meluangkan waktu, jadi kami bisa wawancara. Beberapa tokoh sudah kita sambangi juga, beberapa kawan-kawan almarhum. Tapi kemarin, agak terlambat almarhum Wapres sebelumnya, Pak Hamzah Haz,” tambah Fadlansyah.
Wapres pun menyambut baik keinginan tim penulis dan bersedia memberikan informasi pendukung yang diketahuinya. Meskipun mengikuti kiprah H. Nuddin Lubis, termasuk Resolusi Lubis yang menjadi salah satu tonggak penting bagi pergeseran kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto, Wapres mengemukakan bahwa sebenarnya ia tidak banyak memiliki referensi untuk dibagikan, mengingat keduanya terpaut usia yang sangat jauh.
Lebih jauh, Wapres menceritakan, mereka pernah berada dalam forum yang sama ketika Sidang Dewan Partai NU di Bogor, tetapi posisinya sebagai junior yang baru berusia sekitar 29 tahun tidak memungkinkan Wapres berinteraksi secara intens dengan sosok H. Nuddin Lubis.
“Saya pernah bareng-bareng beliau, saya menjadi utusannya DKI, Sidang Dewan Partai di Bogor. Pak Nuddin wakil dari Sumatra Utara, kemudian Pak Imam Sofwan mewakili Jawa Tengah, kemudian Kiai Abdullah Shiddiq mewakili Jawa Timur, dan saya dianggap ‘ibnu’ karena waktu itu saya masih muda sekali,” ucapnya.
Wapres berkisah, sejarah panjangnya di dunia politik dimulai sejak usia 20-an tahun ketika ia terpilih sebagai anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Utusan Golongan Islam sewaktu NU masih aktif sebagai organisasi partai politik.
Wapres menyebut, dirinya keluar dari perpolitikan sekitar 2004 setelah mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Setelah itu, sambungnya, Wapres berkontribusi di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Belakangan saya ditarik sebagai Wakil Presiden. Sebenarnya tidak dalam posisi politik saya, justru sudah tidak, sudah di Rais ‘Am PBNU merangkap Ketua Umum Majelis Ulama. Ketika posisi ini, justru saya diambil sebagai Wakil Presiden. Dan kemarin, saya ditunjuk lagi jadi Dewan Syuro PKB lagi. Setelah 26 tahun, kembali ke politik lagi. Jadi, keluar masuk,” imbuhnya.
Dengan pengalaman panjang tersebut, Wapres tentu bisa melihat perubahan besar dinamika politik dari masa ke masa. Menurutnya, kampanye zaman dulu itu bentuk dukungan sepenuhnya dari masyarakat, tetapi kampanye sekarang lebih berupa mobilisasi massa.
“Mereka itu bukan dikerahkan, dibiayai, diongkosi. Tidak! Mereka sendiri jalan sendiri, ongkos sendiri, apa sendiri. Jadi, mereka itu mendukung sepenuh hati, bukan mobilisasi,” kenang Wapres.
Selanjutnya, ia menyoroti kondisi partai-partai politik Islam saat ini yang dipandang Wapres kehilangan sentralitas kiai sehingga apa yang diamanatkan oleh pimpinan di tingkat pusat belum tentu diikuti oleh lingkup di bawahnya.
“Nah, ini harus dikembalikan, sentralitas kiai,” tegasnya.
Selain itu, sebut Wapres, partai politik Islam pada zaman sekarang juga kehilangan connectivity atau ketersambungan antarkiai.
“Masing-masing pemimpin di daerah [bergerak] masing-masing sehingga menjadi mudah diprovokasi. Sudah jalan sendiri-sendiri, tidak menjadi satu ikatan,” katanya.
Oleh karena itu, melalui perannya sebagai Ketua Dewan Syuro PKB, Wapres ingin mendorong kembali hal-hal yang hilang tersebut sehingga partai Islam kembali kuat.
Mendampingi Wapres dalam pertemuan ini, Kepala Sekretariat Wapres Ahmad Erani Yustika, Deputi Bidang Administrasi Sapto Harjono Wahjoe Sedjati, Staf Khusus Wapres Masykuri Abdillah dan Robikin Emhas, dan Asisten Staf Khusus Wapres Siti Hannah. (RR/RJP, rls)