Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan upaya Kementerian ESDM agar dapat menarik minat investor asing melakukan operasi minyak dan gas bumi di dalam negeri. Beberapa kebijakan baru dirumuskan untuk menambah peluang perusahaan migas internasional berproyek di Indonesia.
Kebijakan yang pertama, ujar Arifin adalah melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, serta Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
“Kita sedang memperbaiki PP Nomor 27 Tahun 2017 dan PP Nomor 53 Tahun 2017. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa diselesaikan. Untuk PP 53 Tahun 2017 sepertinya sudah selesai,” jelas Arifin pada pertemuan dengan wartawan sektor ESDM di Jakarta, Jumat (2/8) lalu.
Revisi aturan-aturan tersebut berkaitan dengan indirect taxes atau pajak tidak langsung, seperti Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, serta bea masuk, yang masih dikenakan pada tahap eksploitasi.
“Ini kebijakan agar Migas bisa lebih menarik. Kebijakan, ada indirect tax, PPN, PBB, dan Bea Masuk. Itu tahap eksploitasi masih dikenakan,” ujarnya.
Selain itu, diatur pula terkait CCS/CCUS, agar dapat berjalan maka diusulkan sebagai biaya operasi migas.
“Kita punya banyak reservoir yang bisa dioperasikan untuk CCS dan CCUS. Di Masela ini akan ada program CCS, dan di Tangguh ada CCUS. Jadi kalau CCS itu menyimpan, kalau CCUS itu inject, jadi mendorong gasnya lagi keluar lagi, bisa diambil,” imbuhnya.
Kementerian ESDM juga tengah menyusun Peraturan Menteri ESDM tentang New Gross Split. Aturan ini akan menyederhanakan komponen tambahan split agar implementasinya lebih mudah.
“Ini nanti ada pajak-pajak yang dianggap terlalu banyak membebani itu akan disesuaikan, supaya tidak menumpuk, banyak. Kemudian mengenai new gross split, itu kita menyederhanakan komponen tambahan split supaya bisa lebih implementatif,” ujarnya.
Arifin menjelaskan, dari 13 komponen tambahan split, di aturan baru ini disederhankan menjadi hanya 5 komponen. Kemudian diberikan pula tambahan split, hingga mencapai 95 persen, termasuk untuk Migas Non Konvensional (MNK). Yang jelas PSC gross split yang baru ini akan menjadi pilihan yang lebih menarik dibanding PSC gross split sebelumnya. Di samping PSC cost recovery yang tentu juga masih tersedia.
“Jadi untuk yang daerah produksi-produksi yang sangat marginal, mereka bisa mendapatkan split yang lebih besar. Contohnya ini nanti untuk yang di gas non-konvensional, yang misal oil, itu nanti mereka bisa dapat lebih besar karena memang cost-nya banyak, risikonya tinggi, dan PSE-nya itu ingin menggunakan gross split. Supaya bisa cepat. Karena kalau cost recovery kan masih ada prosedur dan mekanisme administrasi, persetujuan, dan lain sebagainya. Ini memang membutuhkan waktu yang cukup lama,” jelas Arifin.
Selanjutnya adalah kebijakan terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Tubuh Bumi. Diperlukan pembebasan indirect tax, termasuk PBB tubuh bumi terhadap eksploitasi agar investasi lebih menarik.
“Kita upayakan agar pada tahap eksploitasi tetap menarik untuk investasi. Ini masih PBB Tubuh Bumi yang dikenakan formulasinya terhadap lifting. Jadi mestinya hanya dikenakan pada lifting bagian KKKS saja. Tapi pemerintah punya, yang untuk pemerintah dikenakan juga, dua kali,” jelasnya.
Kebijakan-kebijakan baru ini, ujar Arifin, diupayakan supaya sektor migas lebih menarik, terutama pada masa transisi menuju pemanfaatan energi yang lebih bersih.
“Ini yang memang policy-policy baru yang kita upayakan supaya migas (lebih menarik). Karena dalam transisi ini kita memang berbalapan. Kalau kita tidak cepat transisi energi bersih, maka importasi energi kita akan banyak. Terutama minyak untuk transportasi. Jadi ini upaya kita, apa yang bisa kita maksimalkan dari tubuh bumi yang ada di kita,” pungkasnya. (DKD)